Sengkon Dan Karta Karni Ilyas
UMURNYA lebih muda satu tahun. Karni Ilyas lahir 1952. Di Sumatera Barat. Setamat SMEA di Padang barulah anak pedagang ini ke Jakarta: kuliah hukum di Universitas Indonesia.
Saya mengaguminya: wartawan yang juga pejuang. Yang menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalistik. Yang memiliki idealisme yang tinggi.
Kemarin saya kaget. Yakni saat saya melihat video terbarunya bersama Dr Refly Harun –ahli hukum dari Universitas Andalas, Padang itu: Karni masih merokok! Dan masih kelihatan sangat menikmatinya.
Refly punya nama besar setelah sering tampil di acara Karni. Ia merasa dibesarkan oleh Karni. Tentu tidak hanya itu. Ia sendiri memang punya modal untuk menjadi besar: ia orang yang punya karakter yang kuat.
Buktinya banyak juga orang yang sering tampil di acara Karni tapi namanya tidak kunjung membesar.
Kalau menjadi Refly saya akan berani menegur Karni yang begitu demonstratif merokok di depan kamera. Tapi itulah Karni. Yang sudah merokok sejak saya mengenalnya lebih 40 tahun lalu.
Bahkan seumur hidupnya baru sekali ia ganti rokok: dari Dji Sam Soe ke Gudang Garam. Sampai sekarang.
Karena itu ia paling suka mengutip humornya perokok berat lainnya: Mendikbud Prof Dr Fuad Hasan. Fuad sering bercanda: “Tidak ada orang yang sedang merokok meninggal dunia”. Saya pernah mendengarnya sendiri. Ketika sama-sama menjadi anggota MPR. “Lihatlah,” sambungnya, “betapa banyak orang yang meninggal ketika sedang olahraga.”
Rokok itulah yang membuat suara Karni Ilyas parau dan serak –seperti yang sangat Anda kenal itu. Yang kini justru menjadi ciri khasnya. Dan menjadi kekuatannya.
Kekuatan suaranya itulah yang dulu menjadi kelemahannya. Hampir saja ia gagal menjadi ”manusia TV” akibat keparauan suaranya itu.
“Mana mungkin dengan suara seperti itu bisa sukses di TV”. Begitulah para produser TV berpendapat kala itu. Ketika untuk kali pertama Karni pindah dari dunia media cetak ke dunia TV.
Sejak saya kenal Karni, ya sudah merokok itu. Yakni ketika kami sama-sama menjadi wartawan TEMPO. Karni lantas menjadi redaktur hukum yang terkenal.
Ia tidak menjadi wartawan hukum biasa –yang hanya melaporkan peristiwa hukum. Ia juga menjadi ilmuwan hukum. Ia selalu menemukan lubang-lubang kelemahan hukum, lalu mendorongnya untuk diatasi.
Salah satu yang akan selalu saya ingat adalah: sulitnya menemukan barang bukti dalam perkara pemerkosaan. Waktu itu. Maka Karni mendorong –lewat tulisan-tulisannya– agar vagina bisa diakui sebagai ”barang”. Dan Karni sukses dalam ”menciptakan” hukum di bidang pemerkosaan.
Karni juga dikenal sebagai wartawan yang gigih mendorong lahirnya UU PK (Peninjauan Kembali). Yang kita kenal sampai sekarang.
Itu karena Karni gigih membongkar terjadinya kesalahan putusan final Mahkamah Agung terhadap Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah. Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya.
Karni Ilyas juga wartawan yang anti penghitaman foto pelaku kriminal. Bukan saja merusak fotografi tapi juga tidak ada gunanya.
Memang hukum mengenal doktrin ”praduga tak bersalah” tapi menerapkannya tidak harus dengan menghitamkan bagian mata di foto itu.
Karni terus menegakkan prinsip itu. Dan menyuarakannya. Belakangan kita tidak melihat lagi ada foto di surat kabar atau majalah yang sebagian wajahnya ditutup warna hitam.
Tentu Karni juga anti penulisan singkatan untuk seorang tersangka. Menurut Karni, nama tersangka itu harus disebut selengkapnya. Yang penting jangan menghukum bahwa mereka pasti salah. Kalau ditulis singkatannya justru bisa menimbulkan fitnah. Kasihan orang yang sekantor atau sekampung dengan singkatan nama yang sama.
Saya tentu mendukung prinsip seperti itu. Bahkan saya mendoktrinkan prinsip perlunya wartawan punya keyakinan. Mengapa hanya hakim yang bisa memutuskan berdasarkan keyakinan –di samping berdasar barang bukti dan keterangan saksi. Wartawan juga harus terlatih untuk memiliki keyakinan mengenai sebuah kejadian. Keyakinan itu akan menjadi bagian dari idealisme jurnalistik.
Misalnya seseorang yang tertangkap basah. Atau terang-benderang dalam melakukan kejahatan. Untuk apa lagi nama masih harus disingkat. Dan fotonya masih harus dihitamkan.
Di mata saya, Karni Ilyas adalah alumni TEMPO yang paling eksis sekarang ini. Memang masih ada nama seperti Leila Chudhori, si penulis buku terkenal itu. Yang salah satu bukunya berjudul ”Pulang”. Sebuah cerita tentang penderitaan menjadi orang yang dituduh PKI –Partai Komunis Indonesia.
Juga ada Saur Hutabarat. Yang kini menjadi pengendali media di grup politisi-konglomerat Surya Paloh. Masih ada Putu Wijaya, sastrawan dan tokoh teater. Juga Ratna Riantiarno, tokoh teater juga. Atau Bambang Harimurti, yang pernah lolos seleksi menjadi astronot. Yang menantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu.
Tapi Karni lah yang saya anggap paling eksis.
Ia eksis di media tulis. Ia juga pernah membantu saya membenahi manajemen Jawa Pos selama beberapa bulan.
Sebagai wartawan ia begitu sukses mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Di zaman sepeninggal Ibnu Sutowo.
Lalu ia eksis lagi di dunia televisi. Begitu banyak penghargaan diberikan padanya di bidang penyiaran TV. Sejak ia masih di Liputan 6 SCTV, pun sampai belakangan, ketika ia berada di TV One.
Hanya Bang One (baca: o-ne) yang kurang berhasil menjadi produk yang melegenda.
Sedang acara ILC (Indonesia Lawyer Club) akan dikenang sepanjang masa. Bahwa acara itu kini diakhiri justru membuat Karni lebih seperti Marilyn Monroe atau Elvis Presley: meninggal di kala sedang top-topnya.
Yang membedakan, Marilyn dan Elvis mati akibat bunuh diri. Sedang ILC mati entah karena apa.
Tentu Karni Ilyas akan tetap bisa eksis. Fisik boleh dikurung, tapi ide tak akan bisa dimatikan. Justru kini zamannya live streaming. Bisa saja ILC bermigrasi ke dunia streaming. Dan sukses untuk kali kesekian.
Sekali lagi, hilangnya ILC dari tv semakin memperkuat tesis bahwa TV tidak akan berumur panjang lagi. Setidaknya sebagai lahan bisnis besar. TV sudah semakin ditinggalkan pemirsanya –pindah ke streaming.
Hanya saja untuk pindah ke media streaming Karni harus membawa serta lagi seluruh anggota PKI-nya. Itulah singkatan yang terkenal di kalangan yang dekat dengannya: Pasukan Karni Ilyas.
Ketika masuk TV dulu, Karni membawa seluruh PKI-nya dari majalah hukum Forum Keadilan. Demikian juga ketika dari satu TV ke TV lainnya. Karni memang bukan hanya wartawan, ia juga pemimpin besar PKI yang militan.(*)
Sabtu 19-12-2020,08:00 WIB
Salah satu yang akan selalu saya ingat adalah: sulitnya menemukan barang bukti dalam perkara pemerkosaan. Waktu itu. Maka Karni mendorong –lewat tulisan-tulisannya– agar vagina bisa diakui sebagai ''barang''. Dan Karni sukses dalam ''menciptakan'' hukum di bidang pemerkosaan.
Karni juga dikenal sebagai wartawan yang gigih mendorong lahirnya UU PK (Peninjauan Kembali). Yang kita kenal sampai sekarang.
Itu karena Karni gigih membongkar terjadinya kesalahan putusan final Mahkamah Agung terhadap Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menerima vonis Pengadilan Negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah. Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya.
Karni Ilyas juga wartawan yang anti penghitaman foto pelaku kriminal. Bukan saja merusak fotografi tapi juga tidak ada gunanya.
Memang hukum mengenal doktrin ''praduga tak bersalah'' tapi menerapkannya tidak harus dengan menghitamkan bagian mata di foto itu.
Karni terus menegakkan prinsip itu. Dan menyuarakannya. Belakangan kita tidak melihat lagi ada foto di surat kabar atau majalah yang sebagian wajahnya ditutup warna hitam.
Tentu Karni juga anti penulisan singkatan untuk seorang tersangka. Menurut Karni, nama tersangka itu harus disebut selengkapnya. Yang penting jangan menghukum bahwa mereka pasti salah. Kalau ditulis singkatannya justru bisa menimbulkan fitnah. Kasihan orang yang sekantor atau sekampung dengan singkatan nama yang sama.
Saya tentu mendukung prinsip seperti itu. Bahkan saya mendoktrinkan prinsip perlunya wartawan punya keyakinan. Mengapa hanya hakim yang bisa memutuskan berdasarkan keyakinan –di samping berdasar barang bukti dan keterangan saksi. Wartawan juga harus terlatih untuk memiliki keyakinan mengenai sebuah kejadian. Keyakinan itu akan menjadi bagian dari idealisme jurnalistik.
Misalnya seseorang yang tertangkap basah. Atau terang-benderang dalam melakukan kejahatan. Untuk apa lagi nama masih harus disingkat. Dan fotonya masih harus dihitamkan.
Di mata saya, Karni Ilyas adalah alumni TEMPO yang paling eksis sekarang ini. Memang masih ada nama seperti Leila Chudhori, si penulis buku terkenal itu. Yang salah satu bukunya berjudul ''Pulang''. Sebuah cerita tentang penderitaan menjadi orang yang dituduh PKI –Partai Komunis Indonesia.
Juga ada Saur Hutabarat. Yang kini menjadi pengendali media di grup politisi-konglomerat Surya Paloh. Masih ada Putu Wijaya, sastrawan dan tokoh teater. Juga Ratna Riantiarno, tokoh teater juga. Atau Bambang Harimurti, yang pernah lolos seleksi menjadi astronot. Yang menantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu.
Tapi Karni lah yang saya anggap paling eksis.
Ia eksis di media tulis. Ia juga pernah membantu saya membenahi manajemen Jawa Pos selama beberapa bulan.
Sebagai wartawan ia begitu sukses mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Di zaman sepeninggal Ibnu Sutowo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kekuatan suaranya itulah yang dulu menjadi kelemahannya. Hampir saja ia gagal menjadi ”manusia TV” akibat keparauan suaranya itu.
“Mana mungkin dengan suara seperti itu bisa sukses di TV”. Begitulah para produser TV berpendapat kala itu. Ketika untuk kali pertama Karni pindah dari dunia media cetak ke dunia TV.
Sejak saya kenal Karni, ya sudah merokok itu. Yakni ketika kami sama-sama menjadi wartawan TEMPO. Karni lantas menjadi redaktur hukum yang terkenal.
Ia tidak menjadi wartawan hukum biasa –yang hanya melaporkan peristiwa hukum. Ia juga menjadi ilmuwan hukum. Ia selalu menemukan lubang-lubang kelemahan hukum, lalu mendorongnya untuk diatasi.
Salah satu yang akan selalu saya ingat adalah: sulitnya menemukan barang bukti dalam perkara pemerkosaan. Waktu itu. Maka Karni mendorong –lewat tulisan-tulisannya– agar vagina bisa diakui sebagai ”barang”. Dan Karni sukses dalam ”menciptakan” hukum di bidang pemerkosaan.
Karni juga dikenal sebagai wartawan yang gigih mendorong lahirnya UU PK (Peninjauan Kembali). Yang kita kenal sampai sekarang.
Itu karena Karni gigih membongkar terjadinya kesalahan putusan final Mahkamah Agung terhadap Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah. Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya.
Pria paruh baya yang tak diketahui namanya itu berteriak saat penasihat hukum Jessica Wongso membacakan pleidoi.
Sabtu, 19 Desember 2020 – 09:49 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com
Ia selalu menemukan lubang-lubang kelemahan hukum, lalu mendorongnya untuk diatasi.
Salah satu yang akan selalu saya ingat adalah: sulitnya menemukan barang bukti dalam perkara pemerkosaan. Waktu itu.
Maka Karni mendorong –lewat tulisan-tulisannya– agar vagina bisa diakui sebagai 'barang'. Dan Karni sukses dalam 'menciptakan' hukum di bidang pemerkosaan.
Karni juga dikenal sebagai wartawan yang gigih mendorong lahirnya regulasi tentang peninjauan kembali (PK). Yang kita kenal sampai sekarang.
Itu karena Karni gigih membongkar terjadinya kesalahan putusan final Mahkamah Agung terhadap Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menerima vonis Pengadilan Negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah.
Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya.
Karni Ilyas juga wartawan yang anti-penghitaman foto pelaku kriminal. Bukan saja merusak fotografi tetapi juga tidak ada gunanya.
Seperti kebiasaan yang sudah, bila mereka hendak ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mem-bezoek Karta dan Sengkon, pagi buta, harus bangun menyiapkan nasi sebagai oleh-oleh. Kemudian berangkat pukul 06.00 WIB naik kendaraan umum dari Pondok Gede.
Karta yang semula tinggal di Kampung Cakung Payangan dan Sengkon yang bermukim di Pondok Rangon, sampai kemarin siang menghuni LP Cipinang sebagai narapidana yang dipersalahkan merampok serta membunuh Sulaeman suami-istri. Peristiwa ini terjadi tahun 1974 di Desa Bojongsari, Pondok Gede, Bekasi.
Baca juga: Mendesain Ulang Peninjauan Kembali
Ketika keduanya mulai menjalani hukuman di LP Cipinang, mereka berjumpa dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel berada di Cipinang atas kesalahannya melakukan pencurian. Kepada Sengkon, ia mengaku sebagai pelaku perampokan di Bojongsari dan menewaskan suami-istri Sulaeman. Bulan Oktober lalu, Gunel dan kawan-kawan dijatuhi hukuman atas kesalahannya merampok di rumah Sulaeman tersebut.
Setelah keluar putusan atas diri Gunel Cs, timbul pelbagai tanggapan dari kalangan ahli hukum, baik kalangan hakim, advokat, dan sebagainya. Umumnya menginginkan agar Karta dan Sengkon dikeluarkan dari lembaga, sambil menunggu upaya hukum terbaik untuk “memperbaiki” putusan yang menyatakan mereka bersalah.
Berita bebasnya Sengkon dan Karta dengan judul "Sengkon dan Karta Bebas" yang terbit di Harian Kompas, edisi Rabu, 5 November 1980.
Tanggal 3 Nopember 1980 lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan kepada Kepala LP Cipinang minta “schorsing” pelaksanaan hukuman bagi Karta dan Sengkon. Diuraikan bahwa Kejaksaan berusaha mencari upaya hukum atas kekeliruan tersebut. Sambil menunggu upaya tadi, Karta yang dijatuhi hukuman 7 tahun dan Sengkon 12 tahun dimohon dapat dikeluarkan dahulu dari lembaga dengan status “schorsing” menjalani hukuman.
Permohonan itu dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud yang sama.
Permohonan dikabulkan
Drs. R Soegondo, Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, menjelaskan kepada pers kemarin siang bahwa setelah permohonan dibahas oleh Dewan Pembina LP Cipinang segera diteruskan ke pusat. Dirjen Pemasyarakatan mengabulkan permohonan dengan pengertian bahwa pidana atas diri Karta dan Sengkon bukan berarti hapus.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi menjawab pertanyaan wartawan mengatakan, langkah yang ditempuh sekarang ini merupakan “penundaan”. Bukan menghapus putusan Hakim yang sudah berkekuatan pasti, sambungnya. Putusan itu tetap berlaku sampai sekarang sambil menunggu upaya hukum yang akan ditempuh untuk membebaskan kedua narapidana tadi, demikian Artomo.
Sementara itu, Mahkamah Agung kemarin siang juga mengeluarkan siaran pers yang menegaskan bahwa permohonan Jaksa Agung tentang diri Karta dan Sengkon dikabulkan. Persetujuan Mahkamah Agung ini adalah merupakan hasil pembahasan dengan Departemen dan Kejaksaan Agung. “Sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh menyetujui penghentian sementara dari menjalani hukuman kedua terhukum tersebut”.
Karta sampai di rumahnya di Pondok Rangon, Jakarta Timur, 4 November 1980, usai terbebas dari penjara
Karta dan Sengkon sampai jam 12.00 kemarin belum mengetahui tentang “nasib baik” yang datang pada diri mereka. Pagi harinya kedua narapidana tersebut dikunjungi Dirjen Pemasyarakatan, Ibnu Susanto SH. Pejabat tinggi ini tidak memberitahu tentang “pembebasan”, juga tidak mensyaratkan sesuatu kepada Karta dan Sengkon. Ia hanya pesan agar “baik-baik saja”.
Istri Karta dan Sengkon beserta beberapa anggota keluarga yang “membezoek” kemarin mendadak jadi gembira sekali memperoleh pemberitahuan bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Mukanya segar berseri-seri, Karta cepat-cepat berganti pakaian. Sengkon yang dirawat di rumah sakit di dalam LP Cipinang segera ditolong para perawat berganti pakaian. Jam 14.10 mereka diajak keluar tembok. Karta naik colt sedangkan Sengkon diangkut dengan ambulans. Hampir-hampir Sengkon tak sadarkan diri.
Baca juga: Ketika Koruptor Ramai-ramai Ajukan Peninjauan Kembali
Kendaraan yang membawa mereka beriringan menuju Bekasi. Sebenarnya, untuk mencapai rumah Karta maupun Sengkon bisa memintas lewat Lobang Buaya terus Pondok Gede, dan dari daerah ini tinggal sekitar 3 kilo ke arah selatan. Tetapi, karena Sengkon harus diopname, maka mereka ke RSU Bekasi dulu. Di rumah sakit itulah Sengkon “didrop”, lalu para petugas Kejaksaan bersama petugas dari lembaga melanjutkan perjalanan ke Pondok Rangon mengantar pulang Karta.
Karta terpaksa “pulang” ke rumah orangtua angkatnya di Kampung Pondok Rangon, sebab rumah dan tanahnya sudah habis dijual buat biaya hidup anak bininya selama ia berada di lembaga. Ketika pers bertanya mau pulang ke mana, Karta agak kebingungan menjawab “belum tahu mau pulang ke mana”. Akhirnya ke rumah engkong Leget di Pondok Rangon itulah petugas mengantar Karta “pulang”.
ilustrasi. Hakim berdiskusi dengan jaksa saat persidangan permohonan peninjauan kembali yang diajukan narapidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (27/7/2020).
Setelah rumah dan tanahnya terjual, keluarga Karta ikut ibunya ke Kampung Bojongsari. Tetapi, baik Karta maupun Sengkon selama menjalani hukuman telah menitipkan keluarga kepada kakek tersebut. Bahkan kalau ada kesulitan, Leget yang ikut memecahkan bersama Nadi, adik Karta.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi mengantarkan sendiri ke rumah sakit serta meminta agar dokter merawat Sengkon baik-baik. Semua biaya akan ditanggung Kejaksaan. Bekas “jawara” dari Bekasi yang kini sakit TBC itu sebetulnya ingin segera pulang ke kampung halamannya di Pondok Rangon. Rumah Sengkon hanya sekitar 50 meter dari rumah Leget. Tetapi, Artomo mengatakan bahwa Sengkon perlu dirawat dulu sampai sembuh.
Selesai diperiksa keadaan kesehatannya, Sengkon diangkut ke kamar rawat. Ia tampak gembira sekali. Sambil duduk, Sengkon meminta jeruk pada isterinya. “Ini ada uang,” tuturnya sambil menyodorkan satu lembar ribuan. Katanya, uang itu diperoleh dari narapidana Bandi yang sekamar dengannya.
Baca juga: Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi memberi sumbangan Rp 20.000 kepada isteri Sengkon, Tuni. “Berdoalah kepada Allah,” kata Artomo. Tuni dinasehati agar tetap tenang, tak usah gelisah.
Ketika rombongan tiba di Pondok Gede mengantar Karta, Tripida Kecamatan setempat menyambut di kantor Kelurahan Jatiluhur bersama masyarakat. Camat dalam kesempatan tersebut mengucap syukur atas kembalinya Karta dan Sengkon. Kepada masyarakat yang berkerumun, Camat bertanya apakah mau menerima kedatangan kedua warga itu? Masyarakat menjawab serentak, “Bersedia”.
ilustrasi. Hakim Ketua Mulyadi yang memimpin jalanya persidangan peninjauan kembali untuk kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, di Pengadilan Jakarta Utara (eks Pengadilan Jakarta Pusat), Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Pertanyaan ini mungkin dimaksudkan untuk “mendamaikan” dan mengembalikan suasana kekeluargaan. Sebab, Karta dan Sengkon dahulu ditangkap setelah ada “surat pernyataan” masyarakat yang menghendaki kedua orang itu ditangkap dan diusut sebagai pelaku perampokan di rumah Sulaeman.
Jam 18.10, rombongan pengantar Karta tiba di rumah kakek Leget. Ibu angkatnya terkejut mengetahui Karta pulang. Ia merangkul erat sekali sambil mengucurkan air mata.
Baca juga: Baiq Nuril Ajukan Peninjauan Kembali
Harapan Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung Prof Oemar Seno Adji SH kemarin siang menerima Albert Hasibuan SH di ruang kerjanya. Anggota DPR (Komisi III) tersebut menghadap Ketua Mahkamah Agung setelah mendengar bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Albert-lah yang akhir-akhir ini giat mengumpulkan data dalam usahanya mencarikan upaya hukum untuk membebaskan Karta dan Sengkon. Kemarin siang menurut rencana ia akan menghadap Jaksa Agung. Tetapi niat ini urung karena Jaksa Agung ada acara lain.
Ilustrasi. Korban pelecehan seksual Baiq Nuril bersama anaknya, Rafi sujud syukur saat anggota DPR secara aklamasi menyetujui pemberian amnesti terhadap dirinya, Kamis (25/7/2019). Sebelumnya, Nuril mengajukan amnesti setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan.
Ketika menerima Albert, Prof Oemar Seno Adji didampingi oleh Hakim Agung Djoko Soegianto SH, Panitera Agung (Sekjen) Rafly Rasyad SH, dan Kepala Bagian Pidana Soedirjo, SH.
Dengan adanya kasus Karta dan Sengkon, Ketua Mahkamah Agung berharap nanti dalam Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru (kini tengah digodok di DPR), masalah herziening, rehabilitasi, serta ganti-rugi diatur sesempurna mungkin. Sehingga, bila ada kasus serupa dengan kasus Karta - Sengkon sudah tak perlu kebingungan lagi.
Persetujuan Mahkamah Agung untuk “menghentikan sementara” bagi Karta dan Sengkon menjalani hukuman, menurut Prof Oemar Seno Adji, karena Mahkamah Agung dan aparat bawahannya juga mempunyai fungsi sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk masalah dan fungsi ini pun ia berharap HAP yang baru nanti mengatur sebaik-baiknya. (sha/tsp/amd)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.